Sanggar Seni Panginyongan Ramaikan Pertunjukan Komedi Segar “GENDHAKAN”
Ketika Cinta, Logika, dan Tawa Menyala di Bawah Lampu Teater
Purwokerto, 8 November 2025 — jakwarta.com | Hujan deras mengguyur Purwokerto, namun suasana malam di Gedung Kesenian Sutedja terasa berbeda. Lampu panggung berpendar lembut, derai tawa penonton bersahutan, dan aroma khas teater — perpaduan antara debu, cat, dan semangat seni — memenuhi udara.
Di bawah sorotan lampu itu, Komunitas Teater Tubuh LARSENI Panginto mempersembahkan karya komedi segar bertajuk “GENDHAKAN”, yang merangkai kisah cinta, logika, dan tawa dalam satu panggung kehidupan.
Disutradarai oleh Bambang Wadoro atau akrab disapa Bador Kayu, pementasan ini menjadi cermin kehidupan sosial yang dibalut humor khas Banyumasan. Cerita bergulir ringan namun menyentuh lapisan perasaan penonton — dari tawa renyah hingga renungan halus tentang cinta dan kesetiaan.
“Gendhakan bukan sekadar kisah selingkuh, tapi tentang bagaimana manusia kadang tersesat antara logika dan rasa,” ujar Bador Kayu di sela persiapan. “Kami ingin penonton pulang dengan tawa, tapi juga membawa sesuatu untuk dipikirkan.”
Panggung Hidup yang Penuh Warna
Deretan pemain lokal tampil penuh energi dan karakter. Selvi memerankan Sinah dengan aura lembut namun tegas, sementara Bahrein sebagai Karman mencuri perhatian lewat kelucuan natural dan ekspresi jenaka.
Duo hansip Setyo (Kacel) dan Randi (Codot) menjadi sumber tawa utama dengan improvisasi spontan namun terukur.
Tak kalah memikat, Didit Chow, Wahyu (Putu Ne Kaki Peang) sebagai Bonang, Ivaan sebagai Warso, serta Rik dan Agus Kaacel yang memerankan pasangan suami-istri dengan dinamika lucu dan dekat dengan realita keseharian.
Sementara itu, Joni Jonte sebagai Bapane menghadirkan nuansa klasik teater rakyat yang tetap terasa segar.
Pertunjukan semakin hidup berkat ilustrasi musik Sidik Isi, yang menghadirkan harmoni antara nuansa tradisional dan ritme modern.
Tata cahaya garapan Bagas Suliwa Sentir menciptakan atmosfer magis yang berganti dari lembut ke dramatis mengikuti alur cerita.
Tim setting yang digawangi Faiq, Kuing, Ashar, dan Heri Boled berhasil menyulap panggung menjadi ruang realisme jenaka.
Sementara itu, penari Lengger Ama, Nurul, dan Amanda dari Sanggar Seni Panginyongan membuka pertunjukan dengan tarian simbolik yang memikat, menggambarkan gairah dan godaan dalam kehidupan asmara.
Dari sanggar yang sama, Lany menyiapkan tata rias pemain dengan penuh totalitas.
“Penampilan dan sentuhan tata rias serta kostum menjadi kekuatan tersendiri dalam pertunjukan ini,” ungkap Lany.
Gratis, Tapi Bernilai Tinggi
Menariknya, seluruh pertunjukan dibuka gratis untuk umum.
Bagi LARSENI Panginto, teater adalah ruang berbagi, bukan sekadar hiburan berbayar.
“Kami ingin menghidupkan kembali budaya menonton teater di masyarakat. Gratis bukan berarti murahan — justru ini bentuk cinta kami pada seni dan penonton,” tutur Bagus Satria, staf produksi.
Pertunjukan berdurasi hampir dua jam itu ditutup dengan tepuk tangan panjang. Penonton dari berbagai kalangan — pelajar, seniman, hingga masyarakat umum — tampak puas menikmati sajian.
“Lucu, tapi dalam,” ujar seorang penonton muda sambil tertawa kecil mengenang adegan favoritnya.
Tentang LARSENI Panginto
LARSENI Panginto dikenal sebagai komunitas teater tubuh yang kerap mengangkat isu sosial dan budaya lokal dengan pendekatan eksperimental. Mereka memadukan teater fisik, dialog berlogat Banyumasan, serta elemen musik dan tari rakyat.
“Kami percaya bahwa tubuh manusia adalah bahasa yang paling jujur,” tegas Bador Kayu, menjelaskan filosofi teater tubuh yang menjadi roh komunitas ini.
Melalui “GENDHAKAN”, LARSENI kembali membuktikan bahwa seni pertunjukan lokal masih memiliki daya hidup, bahkan di tengah derasnya arus hiburan digital.
Teater bukan sekadar tontonan — ia adalah ruang temu, tawa, dan renungan bersama.
(Pray)
