Hakim Jatuhkan Vonis 2 Tahun: Bukti Rekaman CCTV Jerat Pelaku Tabrak Lari Grisenda
Jakarta, jakwarta.com — Setelah hampir lima bulan berlalu, keadilan akhirnya menemukan jalannya. Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Ivon Setia Anggara (65), pelaku tabrak lari yang menewaskan Supardi (82) di kawasan Perumahan Taman Grisenda, Penjaringan, Jakarta Utara.
Vonis yang dibacakan Kamis (9/10/2025) itu menutup lembar panjang kasus yang sempat mengguncang warga Jakarta Utara. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Ivon terbukti bersalah melanggar Pasal 310 ayat (4) dan Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Perbuatan terdakwa menyebabkan korban meninggal dunia dan memperburuk keadaan dengan melarikan diri dari lokasi kejadian,” tegas hakim dalam sidang terbuka.
Majelis hakim juga mengubah status penahanan Ivon dari tahanan kota menjadi tahanan rutan, dengan alasan kemanusiaan dan efek jera bagi pelaku pelanggaran lalu lintas berat.
Tragedi di Pagi Hari
Peristiwa itu terjadi Jumat pagi, 9 Mei 2025, saat Supardi — pensiunan pegawai negeri yang dikenal ramah — tengah berolahraga rutin di sekitar kompleks Taman Grisenda, RW 10.
Dari arah belakang, mobil berwarna putih yang dikemudikan Ivon melaju sekitar 40–50 km/jam.
Saksi mata menuturkan, Supardi sempat menoleh, tapi tak sempat menghindar. Tubuhnya terserempet, lalu terpental ke aspal.
Alih-alih berhenti menolong, Ivon menambah kecepatan dan pergi begitu saja.
Warga yang menyaksikan kejadian itu segera berlari menolong. Supardi dilarikan ke Rumah Sakit PIK, namun dua hari kemudian, 11 Mei 2025, ia mengembuskan napas terakhir akibat luka berat di kepala dan dada.
Jejak CCTV dan Fakta yang Tak Terbantahkan
Setelah peristiwa itu, polisi bergerak cepat. Rekaman CCTV di sekitar kompleks menjadi kunci. Dalam video berdurasi 17 detik itu, terlihat jelas mobil Ivon melintas tanpa berhenti, sesaat setelah Supardi terjatuh.
Dari plat nomor, hasil olah TKP, dan bukti visum, penyidik akhirnya mengidentifikasi Ivon sebagai pengemudi. Ia sempat membantah, namun fakta demi fakta di persidangan menutup ruang sangkal.
“Terdakwa lalai, namun yang memberatkan ialah sikapnya yang meninggalkan korban tanpa pertolongan,” ujar jaksa dalam tuntutannya.
Keadilan yang Terlambat, Tapi Nyata
Meski vonis dua tahun dianggap ringan oleh sebagian pihak, keluarga korban memilih menerima. Mereka menyadari bahwa keadilan bukan sekadar tentang lamanya hukuman, tetapi juga pengakuan bahwa nyawa ayah mereka tak sia-sia.
“Kami ikhlas. Yang penting kebenaran terungkap dan pelaku bertanggung jawab,” kata Haposan, anak almarhum Supardi, dengan suara bergetar seusai sidang.
Ia menambahkan, keluarga hanya berharap peristiwa serupa tak terulang. “Semoga tak ada lagi orang tua yang harus kehilangan nyawa hanya karena kelalaian di jalan.”
Lebih dari Sekadar Kecelakaan
Kasus Grisenda bukan sekadar perkara tabrak lari biasa. Ia menjadi potret gelap budaya berkendara di perkotaan: minim empati, abai aturan, dan enggan bertanggung jawab.
Di balik setir, kecepatan sering kali menumpulkan nurani.
“Tabrak lari bukan pelanggaran lalu lintas. Itu kejahatan moral,” ucap seorang saksi yang juga warga sekitar.
Kini, Ivon menjalani hukumannya di balik jeruji, sementara keluarga Supardi menatap masa depan dengan duka yang perlahan sembuh — meski kehilangan takkan pernah benar-benar hilang.
Sebuah Cermin Bagi Kita Semua
Dari Grisenda, kita belajar bahwa setiap nyawa yang melintas di jalan raya adalah tanggung jawab bersama.
Hukum boleh menutup kasus ini, tetapi pesan moralnya terus bergema:
satu detik lalai bisa merenggut satu kehidupan.
(Redaksi)